Kurangnya angka pernikahan dalam statistika bukanlah persoalan. Bukan juga hendak meningkatkan kualitasnya, namun turun atau bahkan naiknya jumlah pasangan pertahun hendaknya menjadi gambaran tentang angka yang memiliki kualitas pada kehidupan masa depan.
Harapan akan kehidupan lebih baik menjadi alasan utama pernikahan. Maka demikian, harapan melahirkan keinginan terhadap pernikahan. Rendahnya harapan akan kehidupan lebih baik menurunkan gairah atasnya. Hal ini bisa saja timbul dari gambaran kehidupan saat ini. Semisal banyaknya persoalan kemanusiaan, rumitnya jalinan sosial-masyarakat, sampai maraknya tindakan kecurangan, kerusakan serta kemiskinan yang rentan permusuhan dengannya lemah penegakan moral dan hukum. Maka darinya, dapat hidup sederhana bisa jadi cukup meski menjadi sendiri.
Sebagai contoh, KUA (Kantor Urusan Agama) Jawa Tengah mengeluarkan data menurunnya angka pernikahan muda-mudi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Data yang dirilis JATENG Daily mengungkapkan bahwa pada 2020 tercatat 1,78 juta pasangan menikah. Angka itu merosot menjadi 1,74 juta (2021), 1,71 juta (2022), 1,57 juta (2023), hingga hanya 1,47 juta pada 2024.
Perilaku para remaja juga menjadi bagian alasan penting. Tidak jarang, perilaku seksual di luar nikah masih membayangi. Perzinahan di kalangan remaja yang didasari gejolak, rasa ingin tahu serta gaya hidup sesat menurunkan keinginan untuk komitmen pada pernikahan yang dirasa cukup menantang serta penuh halangan dan rintangan. Keterlanjuran cara hidup yang kemudian membentuk persepsi terhadap pernikahan tersebut menurunkan gairah pernikahan.
Pernikahan dalam Diskursus
Keimanan menjadi ruang yang mau tidak mau menjadi bagian dari diskursus terkait pernikahan. Seberapa yakin akan kehidupan lebih baik dengan pernikahan sehingga menjadi berani mengambil sikap untuk menikah. Namun sebenarnya semenjak awal, sejarah pernikahan sebenarnya hanyalah urusan Tuhan. Hawa yang diciptakan dari Tulang Rusuk Adam saat ia tidur, hingga terdapat drama saling mencari saat diturunkan ke dunia, Adam dari Sri Langka dan Hawa dari Jeddah, Saudi Arabia hingga dikisahkan bertemu di Arafah, dekat Muzdalifah. Maka secara keimanan perkara ini selesai dengan keyakinan bahwa Tuhan yang menentukan.
Persoalan yang sering menjadi alasan adalah perkara keduniwian. Persaingan hidup yang makin sengit baik secara eksistensi, ekonomi sampai pada ranah keyakinan membuat perasaan menjadi sempit bahkan sesak dan seringnya merepotkan sebab menguras banyak energi sehingga sangat melelahkan. Kondisi ini nyata terjadi di tengah-tengah kehidupan saat ini. Kehidupan menjelma realita dengan harapan yang sempit akan masa depan lebih baik tersebut.
Belum lagi, minimnya percontohan dalam kehidupan sehari-hari bahkan cenderung melemaskan. Orang-orang yang gagal dan gagal kembali serta seolah menjadikan pernikahan sekedar suatu tahapan tanpa mengambil pelajaran atas kegagalan tersebut, seperti memberi ruang berpikir ulang untuk suatu pernikahan.
Maka memperkuat keimanan yang benar serta senantiasa menjaga diri dari sikap yang dapat melemahkan gairah pernikahan dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah adalah langkah paling baik. Meski pernikahan merupakan cara terbaik sebagaimana dalam percontohan menjalani kehidupan, menjadi tidak merusak kesucian pernikahan dan kebaikan serta kesakralannya tentu bukan cara terlarang serta pilihan untuk menjaga gairah secara tepat merupakan bagian dari ekspresi cinta sesungguhnya.








