mediaawas.com
Musim kemarau tahun ini tak seperti biasanya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia masih diguyur hujan lebat, meskipun secara kalender musim sudah memasuki masa kemarau.
Fenomena ini, menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, merupakan akibat dari anomali iklim yang cukup kuat di tahun 2025.
Dalam penjelasannya di Jakarta, Dwikorita mengatakan bahwa kondisi tersebut menjadi pedang bermata dua bagi sektor pertanian.
Di satu sisi, ketersediaan air untuk irigasi tetap terjaga, memberikan keuntungan bagi petani padi.
Namun, di sisi lain, kelembapan tinggi yang menyertai curah hujan bisa menjadi tantangan berat bagi petani hortikultura.
“Ini berkah sekaligus tantangan. Untuk petani padi, ini bisa membantu, karena pasokan air irigasi tetap tersedia. Tapi, untuk hortikultura, kelembapan tinggi bisa jadi masalah serius,” ujar Dwikorita.
Tanaman hortikultura seperti cabai, tomat, dan bawang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan yang lembab.
Kelembapan yang tinggi memicu serangan hama dan penyakit pada tanaman, yang dapat menurunkan hasil panen secara signifikan.
BMKG juga menyarankan para petani hortikultura untuk memperkuat sistem perlindungan tanaman serta memperbaiki saluran drainase agar air tidak menggenang di lahan.
Dwikorita juga menekankan bahwa musim kemarau kali ini akan lebih pendek, dengan curah hujan yang tidak stabil hingga Oktober 2025.
Hal ini terutama berlaku di wilayah Indonesia bagian selatan yang tetap harus waspada terhadap fluktuasi cuaca ekstrem.
Analisis BMKG menunjukkan bahwa pola curah hujan yang tidak menentu ini bisa mengganggu produksi pangan, pasokan air, serta aktivitas ekonomi lain bila tidak diantisipasi.
Oleh karena itu, kesiapsiagaan dan adaptasi berbasis informasi iklim menjadi krusial.
“Informasi prediktif dan analisis BMKG harus menjadi acuan. Kesiapan adaptasi iklim tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga harus menjangkau petani di lapangan,” katanya.
BMKG berkomitmen untuk terus mendampingi pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat maupun daerah, agar strategi pertanian dan kebijakan publik bisa disesuaikan dengan dinamika cuaca dan iklim yang terus berubah.










