Kekhawatiran akan Aksesibilitas di COP30 Belém: Harga Akomodasi Melonjak, Ancam Partisipasi Negara-Negara Rentan
Menjelang pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang akan digelar di Belém, Amazon, Brasil pada November 2025 mendatang, kekhawatiran semakin meningkat terkait aksesibilitas bagi delegasi dari negara-negara berkembang dan kepulauan kecil. Masalah utama yang mencuat adalah melonjaknya harga akomodasi di kota tersebut, yang berpotensi menghalangi partisipasi pihak-pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Dalam konferensi pers yang digelar di Bonn, Jerman, Richard Muyungi, Ketua African Group Negotiator (AGN), menyatakan bahwa biaya penginapan di Belém menjadi “kekhawatiran besar” bagi beberapa delegasi. Ia mengungkapkan telah mengirimkan surat kepada presidensi COP untuk menyampaikan masalah ini, sekaligus mendorong solusi konkret agar semua pihak bisa hadir secara utuh dalam forum global tersebut.
Ilana Seid, ketua kelompok negara-negara pulau kecil AOSIS, juga menyoroti bahwa delegasi mereka belum menerima jawaban pasti terkait solusi atas lonjakan harga akomodasi. Sementara itu, Evans Njewa dari Malawi, perwakilan kelompok negara berkembang Least Developed Countries (LDC), menambahkan bahwa isu aksesibilitas ini telah dibahas berulang kali dengan panitia penyelenggara selama pertemuan di Bonn.
Lonjakan Harga yang Mengkhawatirkan
Data menunjukkan bahwa harga kamar hotel bintang tiga di Belém selama minggu pertama COP30 dapat mencapai lebih dari US$ 5.000 atau sekitar Rp80 juta per orang, sementara apartemen sewa di Airbnb ditawarkan dengan harga di atas US$ 430 per malam. Angka ini tentu saja sangat tidak terjangkau bagi banyak delegasi dari negara berkembang.
Beberapa delegasi bahkan mulai mempertimbangkan rencana alternatif, seperti menginap di kapal pesiar sungai, ruang kelas yang dialihfungsikan, tenda, atau bangunan tua yang disulap menjadi tempat penginapan darurat. Kota Belém sendiri memiliki populasi sekitar 1,3 juta jiwa dan harus menyiapkan fasilitas untuk lebih dari 50.000 peserta yang diperkirakan akan hadir.
Upaya Pemerintah Brasil
Pemerintah Brasil telah berupaya menyiapkan tambahan setidaknya 24.000 tempat tidur di Belém. Selain itu, sebuah platform akomodasi digital juga direncanakan untuk membantu peserta menemukan penginapan yang lebih terjangkau. Sayangnya, platform tersebut masih belum diluncurkan hingga awal Juli 2024, dengan sumber menyebutkan bahwa peluncuran baru akan terjadi enam minggu lagi. Alasannya adalah kurangnya jumlah unit akomodasi yang tersedia untuk dipromosikan.
Valter Correia, Sekretaris Khusus COP30, menegaskan bahwa pemerintah Brasil optimis akan mampu menyediakan cukup tempat tinggal bagi seluruh delegasi. Salah satu proyek infrastruktur yang tengah dibangun adalah Vila Lideres, yang memiliki sekitar 400 kamar dengan tarif perkiraan antara US$ 100-250 per malam.
Selain itu, otoritas lokal juga telah meminta hotel-hotel di Belém untuk menurunkan harga. Jika tidak, mereka terancam kehilangan izin usaha karena dinilai melakukan praktik peningkatan harga yang tidak wajar. Kementerian Kehakiman Brasil telah diminta untuk mengevaluasi apakah ada pelanggaran dalam penetapan harga akomodasi.
Alternatif Relokasi dan Agenda Terbaru
Beberapa negosiator sempat mengusulkan agar COP30 dipindahkan ke kota-kota besar di Brasil seperti São Paulo atau Rio de Janeiro, yang dianggap memiliki infrastruktur lebih memadai. Namun, langkah ini dinilai akan bersifat politis dan kemungkinan besar tidak akan disetujui oleh pemerintah Brasil.
Sebagai solusi transisi, pemerintah Brasil memutuskan untuk memajukan sesi tingkat tinggi World Leaders’ Summit ke tanggal 6 dan 7 November, sebelum pembukaan resmi COP30 pada 10 November. Forum Pemimpin Lokal COP30 juga direncanakan akan digelar di Rio de Janeiro pada 3–5 November.
Langkah ini diharapkan dapat mengurangi tekanan logistik di Belém, meski tantangan tetap ada terutama bagi para negosiator yang sering kali bekerja hingga larut malam dan membutuhkan transportasi serta akomodasi yang layak.
Dampak pada Partisipasi Global
Masalah akomodasi bukan hanya mengganggu negara-negara berkembang, tetapi juga aktivis, akademisi, dan LSM internasional yang ingin turut serta dalam proses dialog iklim global. Banyak dari mereka terpaksa bergantung pada jejaring sosial, seperti gereja atau kerabat di Brasil, untuk mendapatkan tempat tinggal selama acara.
Seorang akademisi bahkan menyampaikan keluhannya kepada media internasional, bertanya bagaimana ia bisa menghadiri COP30 jika tidak menemukan penginapan yang terjangkau. Sementara itu, sejumlah aktivis menyatakan bahwa biaya tinggi dapat mengecualikan suara-suara penting dari komunitas yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Meskipun tantangan masih besar, Presiden COP30 André Aranha Corrêa Do Lago tetap membela lokasi Belém sebagai tuan rumah. Menurutnya, pemilihan kota ini akan memberikan fokus global pada peran hutan hujan Amazon dalam mitigasi perubahan iklim.
“Kami sudah memiliki jumlah yang cukup [akomodasi],” ujar Valter Correia. “Kami akan memastikan setiap negara bisa hadir dengan delegasi penuh tanpa harus melakukan pemotongan.”
Namun, waktu terus berjalan. Lima bulan tersisa hingga COP30 dimulai, dan upaya untuk menjaga inklusivitas dan keterbukaan dalam proses diplomasi iklim dunia harus segera diwujudkan. Jika tidak, maka risiko terbesarnya adalah hilangnya kepercayaan publik pada mekanisme multilateral dalam menghadapi krisis iklim global.