Daerah  

Hilirisasi Minerba: Jalannya Menuju Lapangan Kerja


Kontribusi Sektor Minerba Terhadap Ketenagakerjaan Nasional

Sektor mineral dan batubara (minerba) memiliki peran yang semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Namun, kontribusinya terhadap ketenagakerjaan masih tergolong rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa sektor ini menyumbang 5,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi hanya menyerap 1,1% tenaga kerja—sekitar 1,8 juta orang dari total 152 juta angkatan kerja. Lebih dari 60% dari jumlah tersebut bekerja di tambang rakyat yang identik dengan upah rendah, produktivitas minim, dan risiko keselamatan tinggi.

Di sinilah hilirisasi menjadi kata kunci. Pemerintah menjadikannya sebagai fondasi strategi pembangunan, bukan hanya untuk memperkuat industri dalam negeri dan mengurangi ekspor mentah, tetapi juga sebagai mesin penciptaan lapangan kerja. Namun, apakah janji itu realistis?

Apa Itu Hilirisasi?

Hilirisasi adalah proses mengolah bahan mentah menjadi setengah jadi atau produk akhir. Contohnya, nikel diolah menjadi prekursor baterai kendaraan listrik; bauksit menjadi alumina. Secara teori, hilirisasi menciptakan kerja langsung di pabrik pengolahan, kerja tidak langsung di sektor pendukung, dan efek pengganda lewat meningkatnya daya beli pekerja.

Model Resource-Based Industrialization (RBI) menegaskan industrialisasi berbasis sumber daya alam sebagai jalan transformatif menuju nilai tambah dan ketenagakerjaan. Chili, misalnya, berhasil mengintegrasikan tembaga dan lithium ke rantai pasok global. Lembaga Perburuhan Internasional (ILO) mencatat, antara 2018–2023, lapangan kerja di sektor itu naik 15% menjadi 200.000 orang. Republik Demokratik Kongo melipatgandakan nilai ekspor kobalt dari US$167 juta (mentah) menjadi lebih dari US$6 miliar (terproses) pada 2022, sembari menciptakan ribuan pekerjaan baru. Kanada pun mencatat lebih dari 700.000 tenaga kerja minerba dengan rata-rata upah hampir dua kali lipat standar nasional.

Mimpi Besar Antam Genjot Hilirisasi Nikel

Indonesia mulai merasakan dampak nyata dari strategi hilirisasi. Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah, misalnya, sejak 2015 tumbuh pesat sebagai pusat pengolahan nikel dan hingga 2022 telah menyerap lebih dari 30.000 tenaga kerja. Penyerapan ini tidak hanya terjadi di smelter, tetapi juga meluas ke sektor pendukung seperti transportasi, katering, dan konstruksi.

Contoh lain dapat dilihat di Kalimantan. Hilirisasi batubara yang dimulai pada 2020, meski skalanya masih terbatas, menunjukkan arah positif. Sementara itu, di Kalimantan Barat, smelter bauksit yang beroperasi sejak 2017 mampu menciptakan 1.000 hingga 2.000 lapangan kerja sekaligus meningkatkan nilai tambah komoditas hingga sepuluh kali lipat. Fakta-fakta ini menegaskan bahwa hilirisasi berpotensi menjadi lokomotif pembangunan ekonomi daerah berbasis sumber daya.

Potensi Hilirisasi yang Masih Belum Maksimal

Namun, capaian tersebut masih jauh dari potensi maksimal Indonesia. Dengan cadangan strategis nikel, bauksit, tembaga, dan batubara, peluang hilirisasi untuk memperluas ketenagakerjaan semestinya lebih besar. Proyeksi menyebutkan, hilirisasi nikel untuk industri baterai kendaraan listrik dapat meningkatkan nilai tambah hingga 50 kali lipat. Tak mengherankan jika investasi asing di sektor ini mencetak rekor tertinggi pada 2022.

Salah satu proyek terbesar adalah pengembangan Kawasan Industri Kalimantan Utara (KIPI), yang dirancang sebagai pusat industri hijau berbasis mineral strategis. Jika seluruh 148 smelter nikel yang direncanakan beroperasi penuh, potensi penciptaan lapangan kerja diperkirakan mencapai 150.000 hingga 750.000 orang. Angka ini tentu menggembirakan, tetapi pertanyaan krusial tetap muncul: siapa yang akan mengisi pekerjaan tersebut?

Tantangan dalam Pengembangan Tenaga Kerja Lokal

Kenyataannya, banyak posisi teknis dan manajerial di fasilitas hilirisasi saat ini masih didominasi oleh tenaga asing. Hal ini menunjukkan bahwa hilirisasi belum otomatis menghadirkan pekerjaan berkualitas bagi tenaga kerja domestik. Tanpa strategi serius untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia, keberhasilan hilirisasi dikhawatirkan hanya akan menjadi kisah sukses dari sisi investasi, namun gagal memberi manfaat luas bagi pekerja Indonesia sendiri.

Tiga Jalan Kebijakan untuk Memastikan Keberhasilan Hilirisasi

Untuk memastikan hilirisasi bukan sekadar kisah sukses investasi, tetapi juga lokomotif penciptaan kerja, ada tiga agenda kebijakan yang mendesak:

  • Pertama, penguatan kapasitas tenaga kerja. Tanpa keterampilan, tenaga kerja lokal hanya jadi penonton. Pemerintah perlu membangun pusat pelatihan vokasional di kawasan industri strategis seperti Morowali dan KIPI. Kurikulum harus berbasis kebutuhan nyata industri, dengan target ratusan ribu tenaga kerja terlatih dalam lima tahun. Kolaborasi pendidikan vokasi dan industri mutlak dilakukan.
  • Kedua, peningkatan kualitas investasi. Investasi asing harus membawa transfer teknologi, bukan sekadar membawa modal. Regulasi perlu mewajibkan alih keterampilan kepada tenaga lokal. Insentif fiskal bisa diberikan bagi perusahaan yang mempekerjakan mayoritas tenaga kerja Indonesia, misalnya potongan pajak untuk komposisi 80% tenaga kerja lokal.
  • Ketiga, pemberdayaan ekonomi lokal dan sektor informal. Penambang rakyat tidak boleh terus berada di pinggiran industri. Mereka bisa difasilitasi lewat koperasi, akses pembiayaan, dan pelatihan agar menjadi bagian ekosistem industri modern. Dengan demikian, kondisi kerja membaik sekaligus memperluas perlindungan sosial.

Selain itu, pemetaan kebutuhan tenaga kerja per komoditas mendesak dilakukan. Tanpa data rinci, pelatihan akan meleset dari kebutuhan pasar. Di sisi lain, rantai pasok lokal juga harus diperkuat. UKM penyedia barang dan jasa di kawasan industri perlu akses modal agar bisa tumbuh, sehingga lapangan kerja tidak langsung meluas.

Kesimpulan

Hilirisasi bukan proyek instan. Ia jalan terjal yang memerlukan strategi jangka panjang. Morowali membuktikan dampak positif hilirisasi, tetapi juga menghadirkan persoalan sosial: ketimpangan pendapatan, masalah lingkungan, hingga ketegangan antara tenaga lokal dan asing. Jika Indonesia tidak mengantisipasi, hilirisasi hanya akan menjadi success story dari sisi investasi—tetapi gagal menjawab kebutuhan pekerja dan masyarakat sekitar.

Hilirisasi minerba menyimpan potensi besar sebagai motor transformasi ekonomi Indonesia. Ia bisa menjadi jawaban atas tantangan penciptaan kerja di era bonus demografi, sekaligus memperkuat fondasi menuju Indonesia Emas 2045. Namun, potensi itu hanya akan nyata bila ada kebijakan yang berfokus pada keterampilan tenaga kerja, alih teknologi, dan inklusi ekonomi lokal. Jika tidak, hilirisasi hanya akan memperbesar angka PDB dan neraca ekspor, tetapi gagal memperbaiki kualitas hidup pekerja Indonesia.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *