Penelitian RRT di Solo: Mencari Jejak Sejarah di Tengah Kehidupan Warga
Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas Solo yang berdenyut seperti nadi kota tua, sekelompok peneliti berjalan perlahan di gang-gang sempit Kampung Laweyan. Aroma malam bercampur dengan bau kain batik yang baru dijemur. Angin membawa suara mesin jahit dan langkah kaki yang menapak di jalan batu. Di sinilah, di antara rumah-rumah kayu peninggalan saudagar batik, tim Roy Rismon Tifa (RRT) mencoba membuka kembali arsip masa lalu yang tertinggal di ingatan warga.
Mereka mengaku tidak sedang mencari kontroversi, terkhusus di seputar ijazah Jokowi dan Gibran, melainkan menyusuri lapisan-lapisan sejarah sosial yang sering kali tertutup oleh hiruk-pikuk politik. Dipimpin oleh Dr. Tifa—rombongan ini datang ke Solo pada awal Oktober 2025 dengan misi mengumpulkan data primer dan testimoni warga. Penelitian ini, kata mereka, adalah bagian dari upaya dokumentasi sejarah kepemimpinan dan perjalanan sosial yang membentuk wajah Indonesia modern.
Solo: Antara Ingatan dan Identitas
Kunjungan RRT ke Solo dimulai pada Jumat, 3 Oktober 2025, dengan agenda diskusi publik sekaligus penelitian lapangan. Dalam siniar kanal YouTube milik pakar hukum tata negara, Refly Harun, Dr. Tifa menceritakan bagaimana timnya bertemu warga Kampung Laweyan—daerah bersejarah yang menjadi pusat industri batik dan tumbuh bersama tradisi kelas menengah Jawa.
Di sela-sela wawancara, mereka menemukan cerita tentang Ir. Hari Mulyono, alumni Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 1980. Dari keterangan warga, sosok ini dikenal cerdas, tenang, dan jauh dari dunia politik. Rumah masa kecilnya masih berdiri, meski sunyi. RRT mencatat kisah tersebut sebagai bagian dari penelusuran sosial terhadap jaringan pendidikan dan keluarga di masa 1970–1980-an—periode yang menjadi titik balik banyak biografi tokoh nasional.
Perjalanan mereka juga membawa rombongan ke Desa Mundu, Karanganyar, tempat makam Hari Mulyono berada. Dr. Tifa menyebut lokasi itu unik karena letaknya berdekatan dengan makam keluarga almarhum Sujiatmi Notomiharjo, ibu Presiden Joko Widodo. Ia menekankan bahwa penelitian ini bukan upaya politisasi, melainkan bagian dari studi sejarah mikro: bagaimana narasi keluarga, pendidikan, dan komunitas lokal bisa berkelindan dalam sejarah nasional.
“Ini bukan pembongkaran, melainkan pembacaan ulang terhadap dokumen dan kesaksian masyarakat, kami ingin mendekatkan publik pada cara kerja riset sosial yang faktual, berbasis data, bukan asumsi,” ujar Dr. Tifa, dikutip dari video berjudul “RRT MENDADAK GERUDUK SOLO, AMARAH JKW PECAH?! TERUNGKAP ISI OBROLAN 2 JAM DENGAN PRABOWO!” di kanal YouTube Refly Harun Official yang tayang pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Malang: Tantangan dan Resistensi
Selepas Solo, perjalanan berlanjut ke Malang pada 4–5 Oktober 2025. Di kota ini, dinamika sosial yang dihadapi rombongan berubah drastis. Diskusi publik yang semula dijadwalkan bersama Ustaz Andri Kurniawan dan dihadiri sejumlah tokoh seperti Roy Suryo, mendapat hambatan dari pihak keamanan dan kelompok sipil. “Ini riset sosial, bukan kampanye,” kata Abdullah Alkatiri, kuasa hukum RRT, ketika menjelaskan bahwa kegiatan tersebut bersifat akademis dan terbuka. Setelah negosiasi panjang hingga tengah malam, acara akhirnya bisa dilanjutkan dalam format terbatas.
Peristiwa di Malang ini memperlihatkan bagaimana sains sosial sering kali berbenturan dengan sensitivitas politik dan persepsi publik. Meski demikian, antusiasme warga lokal tetap besar. Banyak yang datang untuk berdiskusi tentang transparansi data, pendidikan, dan rekonsiliasi nasional—tema yang kini menjadi pusat perhatian dalam masyarakat pasca-era Jokowi.
Membaca Kebenaran sebagai Tanggung Jawab Publik
Refly Harun, dalam penutup siniar, menegaskan bahwa riset sosial semacam ini penting bagi demokrasi. “Kita perlu keberanian untuk meneliti, bukan untuk menuding,” ujarnya. “Semua bangsa besar menulis sejarahnya secara jujur, bahkan ketika yang ditulis itu menyakitkan.”
RRT sendiri berencana menerbitkan buku lanjutan tentang hasil penelitian lapangan di Solo, Malang, dan beberapa kota lain. Menurut Dr. Tifa, buku itu akan memuat data empiris, catatan warga, serta refleksi akademik lintas disiplin, termasuk hukum dan antropologi sosial. “Riset ini bukan tentang siapa salah dan siapa benar,” ujarnya pelan. “Ini tentang bagaimana bangsa belajar memahami dirinya sendiri.”
Di akhir perjalanan, ketika malam menutup langit Jawa, rombongan peneliti itu kembali ke penginapan. Lampu jalan berpendar lembut di antara pohon beringin tua. Dari kejauhan, Sungai Bengawan mengalir tenang—seperti sejarah yang tak pernah berhenti bergerak, menunggu untuk dibaca ulang dengan hati-hati dan jujur.












