Daerah  

Rismon Sianipar: ‘Lucu! Gibran Jadi Wapres Tanpa Ijazah SMA’


Kritik terhadap Sistem Pendidikan dan Penyetaraan Ijazah Gibran

Di tengah perbincangan yang hangat di media sosial, Dr. Rismon Sianipar, seorang ahli forensik digital, kembali menyampaikan pandangannya melalui video yang dipublikasikan di kanal YouTube Balige Academy. Dalam video dengan judul “Kocak! Jadi Wapres, Gibran Tak Punya Ijazah SMA/SMK”, ia memberikan kritik tajam terhadap sistem pendidikan dan prosedur penyetaraan ijazah luar negeri yang dinilainya terlalu longgar.

Rismon menyoroti dokumen surat keterangan penyetaraan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) pada tahun 2019. Dokumen tersebut ditandatangani oleh Dr. Sutanto, S.M., M.A. dan menjadi dasar legalitas pendidikan Gibran Rakabuming Raka hingga bisa mencalonkan diri sebagai Wali Kota Surakarta pada tahun 2020 serta Wakil Presiden RI pada tahun 2024.

Menurut Rismon, jika surat keterangan itu digunakan untuk masuk ke universitas di Indonesia, maka tidak akan diterima. Yang dibutuhkan seharusnya adalah surat keputusan penyetaraan, bukan surat keterangan. Ia menegaskan bahwa UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 169 huruf R, mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden memiliki pendidikan paling rendah tamat SMA, SMK, atau sekolah sederajat.

Undang-Undang dan Standar Penyetaraan Pendidikan

Rismon menekankan bahwa standar penyetaraan pendidikan luar negeri harus tetap tunduk pada hukum pendidikan nasional Indonesia. Ia menilai bahwa mengacu pada sistem Singapura atau negara lain tidak serta-merta memenuhi ketentuan hukum dalam negeri. Menurutnya, undang-undang kita tidak diatur oleh sistem pendidikan Singapura. Jika lulusan luar negeri, maka mereka harus disetarakan dengan sistem pendidikan Indonesia.

Ia bahkan mengusulkan agar publik “menguji” apakah surat keterangan penyetaraan Gibran bisa diterima untuk pendaftaran kuliah di universitas Indonesia. Menurutnya, langkah ini dapat menjadi indikator apakah dokumen itu sah setara dengan ijazah SMA/SMK.

Etika Politik dan Nepotisme

Selain persoalan administratif, Rismon juga mengaitkan isu ini dengan etika politik dan nepotisme kekuasaan. Ia menilai bahwa penempatan anggota keluarga Joko Widodo dalam jabatan publik memperlihatkan hilangnya “budaya malu” di tengah sistem demokrasi. Ketika seorang presiden mendorong anak dan menantunya menjadi pejabat saat ia masih berkuasa, itu menunjukkan ketiadaan adab politik.

Rismon berpendapat bahwa kebijakan sosial seperti bantuan sosial (bansos) telah digunakan untuk membangun citra dan loyalitas politik, sehingga rakyat mudah diarahkan melalui rasa terima kasih. Ia menegaskan bahwa bansos bersumber dari uang negara, bukan sumbangan pribadi pejabat.

Tanggapan Publik dan Rencana Gugatan

Dalam video yang sama, Rismon menyebut bahwa pihaknya telah melayangkan surat klarifikasi ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk meminta penjelasan apakah surat keterangan penyetaraan tersebut memiliki preseden sebelumnya. Ia memberi tenggat hingga 10 Oktober 2025 untuk mendapat jawaban sebelum mempertimbangkan langkah hukum ke PTUN.

“Kalau surat keterangan itu diterbitkan tanpa prosedur normatif yang berlaku, maka harus dicabut,” tegasnya. Pernyataan Rismon menuai beragam reaksi. Sebagian warganet menganggap kritiknya berlebihan dan bernada politis, sementara lainnya menilai ia mengangkat isu penting tentang keabsahan dokumen pendidikan pejabat publik.

Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari KPU, Kemendikbudristek, maupun pihak Wapres Gibran menanggapi pernyataan tersebut.

Transparansi dan Kepercayaan Publik

Terlepas dari perdebatan hukum, pernyataan Dr. Rismon Sianipar mencerminkan keresahan yang lebih luas: kepercayaan publik terhadap integritas pejabat negara dan transparansi lembaga pendidikan. Di era digital, setiap dokumen, sertifikasi, atau gelar akademik pejabat publik menjadi bagian dari akuntabilitas politik.

Rismon menutup siarannya dengan seruan agar masyarakat tetap kritis namun rasional. “Kita hanya ingin pemimpin yang kompeten dan jujur,” ujarnya, menambahkan bahwa perjuangannya bukan soal kebencian pribadi, melainkan “nalar publik yang waras”.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *