Gubernur Jawa Barat Luncurkan Gerakan Poe Ibu
Pada 1 Oktober 2025, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA yang berisi tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (POE IBU). Surat edaran ini ditujukan kepada Bupati/Wali Kota se-Jawa Barat, Kepala Perangkat Daerah di lingkup Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat.
Gerakan Poe Ibu resmi diluncurkan di Sasana Budaya Ganesha Kota Bandung pada hari Kamis, 2 Oktober 2025. Acara ini dihadiri oleh ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov Jabar. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk membangun solidaritas kerja dan solidaritas sosial dengan mengajak ASN untuk menabung sebesar Rp1.000 setiap hari. Uang yang terkumpul akan digunakan untuk membantu masalah sosial di Jawa Barat, seperti pendidikan dan kesehatan.
Namun, program ini mendapat kritik tajam dari anggota Komisi V DPRD Jabar, Zaini Shofari. Ia menilai bahwa gerakan ini terkesan dipaksakan atas nama kesetiakawanan. Menurutnya, ASN, siswa sekolah, dan warga masyarakat diajak untuk menyisihkan uang sebesar Rp1.000 setiap hari.
“Jika ASN pasti akan mengikuti apa yang disampaikan oleh atasan mereka, yaitu Gubernur. Namun, bicara soal siswa sekolah, setiap ada pungutan apapun namanya di sekolah itu dilarang. Tapi sekarang gubernur justru mengajarkan bahkan menginsitusionalisasikan, melegalkan hal tersebut sebagai bagian dari solidaritas rereongan,” ujarnya pada Minggu, 5 Oktober 2025.
Zaini menilai bahwa surat edaran ini bertentangan dengan kebijakan-kebijakan gubernur sebelumnya. Contohnya, di pinggir jalan, masyarakat yang meminta sumbangan bantuan untuk fasilitasi sarana keagamaan dilarang, tetapi tidak diberikan solusi. Pesantren, majelis, atau lembaga keagamaan justru tidak mendapatkan bantuan hibah.
Selanjutnya, Zaini menyoroti bahwa gerakan Poe Ibu hanya mengandalkan Peraturan Pemerintah Nomor 39/2012 tentang penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Namun, di satu sisi, Gubernur menabrak peraturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 47 Tahun 2023, yang mengatur jumlah rombongan belajar maksimal sebanyak 36 menjadi 48, bahkan bisa mencapai 50 siswa.
“Menurut saya, model-model seperti ini tidak bagus dalam konteks tata kelola negara, khususnya dalam keuangan. Artinya, ketidakmampuan negara dan pemerintah provinsi dalam mengelola keuangan daerah sehingga masyarakat terus dilibatkan,” katanya.
Masyarakat Sudah Bayar Pajak
Zaini juga menegaskan bahwa pajak apa pun yang dibayarkan oleh masyarakat sudah diserahkan kepada pemerintah. Ia menilai bahwa alasan adanya keluhan masyarakat ke Lembur Pakuan tidak boleh dijadikan dasar untuk memperkuat gagasan bahwa hal ini merupakan bagian dari kesetiakawanan.
“Masyarakat kalau ada yang sakit, tetangganya pasti akan membantu. Masyarakat yang kurang mampu, tetangganya pasti akan membantu. Jadi jangan kemudian direduksi seolah-olah dengan institusionalisasi ini masyarakat terus bergerak atas dasar edaran, tidak seperti itu,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa masyarakat selama ini saling membantu dan bekerja sama dalam lingkungan terkecil. “Jangan kemudian direduksi, masyarakat dari dulu rereongan ini saling bantu dan bekerja sama satu sama lainnya di lingkungan masyarakat terkecil,” pungkasnya.












